Tuesday, May 2, 2017

Defying World Chapter 37

Chapter 37

Candi Bertingkat Enam 


Tepat ketika Zen Kagendra sudah tiba di depan mulut ular piton hitam, ular besar itu menerkam kearahnya, dia membuka mulutnya lebar-lebar untuk menelan bulat - bulat setelah itu Zen Kagendra dan Kembang Laras menutup matanya dan membiarkan mulut ular besar itu dan menelan mereka ke dalam perutnya.

“Aaaahhhh.....!!!”, Kembang Laras berteriak

Suara teriakan Kembang Laras menggema saat dia dan Zen Kagendra ditelan oleh ular piton besa, mereka meluncur ke dalam tubuh piton dengan cepat, tapi setelah beberapa saat Zen Kagendra menyadari bahwa bagian tubuh ular tersebut tersebut berubah menjadi dinding batu seperti lubang sumur, tapi tubuh mereka masih tetap terus meluncur ke bawah.

Saat tubuh mereka meluncur ke bawah, Zen Kagendra memperkirakan jarak jatuhnya dari saat mereka ditelan oleh ular piton besar.

100 meter, 1100 meter, 2100 meter, 3000 meter



Tepat 3 km dari puncak mereka di telan piton, mengaktifkan sensor jiwanya Zen Kagendra segera merasakan dasar sumur, tapi jika mereka mendarat dengan kecepatan jatuh seperti ini, mereka benar – benar akan berubah menjadi bubur daging.

Dengan cepat Zen Kagendra mengusap tangan kanannya dan mengeluarkan pedangnya, dia memutar tubuhnya dan menusukan pedangnya ke dinding Sumur Batu untuk memperlambat kecepatan jatuhnya,

“Puuuffft..”

Suara pedang Zen Kagendra menusuk dinding Sumur Batu, pada dinding yang di tusuk oleh pedangnya dengan cepat mengeluarkan percikan api untuk memperlambat kecepatan jatuhnya.

3100 meter, 3500 meter, 3900 meter, 4000 meter

“Tap, tap”, suara langkah kaki Zen Kagendra mendarat, tubuh Zen Kagendra dengan selamat menginjak dasar sumur.

Tapi begitu Zen Kagendra menginjak dasar sumur, dia tertegun melihat bahwa dia mendarat di sebuah ruang batu yang sangat besar, lebarnya benar-benar mencapai ratusan meter.

Sebelumnya Zen kagendra sudah mendeteksi dengan sensor jiwanya bahwa setelah lubang gua yang dia telusuri pada ujungnya terdapat sebuah ruangan batu yang sangat besar, meskipun begitu Setelah dia melihat dengan mata kepalanya sendiri itu masih sangat sangat besar.

Yang lebih membuatnya terkejut adalah di depanya ada jalan setapak dengan lebar sekitar 2 meter dan ujung jalan masih tidak terlihat, itu berarti bahwa ruangan batu ini bentuknya masih seperti lorong.

Jalan di depan Zen Kagendra terlihat terbuat dari tatanah batu pipih, sementara kiri kanannya ada batu besar yang di gunakan sebagai batu tepi, sedangkan terdapat lampu api yang menyala setiap beberapa meter, seakan jalan ini sedang menunggu seseorang untuk melewatinya.

Lebih anehnya kepadatan energi alam di ruang batu ini sepuluh kali lipat dari kepadatan energi di luar, dengan begitu Zen Kagendra berpikir bahwa pasti ada beberapa harta yang tersembunyi di ujung ruang batu ini.

Setelah mengamati beberapa saat, dia akan mengambil langkah maju tapi tiba – tiba teringat bahwa Kembang Laras masih menutup matanya di gendongannya, dia berbicara pada wanita di gendonganya dengan pelan,

“Hei, sudah aman, kau bisa berjalan sendiri”

Setelah mendengar suara Zen Kagendra, Kembang Laras membuka matanya dan mengamati daerah sekitar, setelah beberapa saat dia akhirnya mengangguk dan Zen Kagendra menurunkanya dari gendonganya.

Setelah turun dari gendongan Zen Kagendra dan berdiri dengan kakinya sendiri, Kembang Laras menunduk berbicara, “Tuan Zen, terima kasih telah menggendongku”

Zen Kagendra yang sudah berjalan dua langkah melirik ke samping dan berbicara, “Aku sudah lupa, aku berjalan”

Mendengar perkataan Zen Kagendra, Kembang Laras langsung cemberut, dia berpikir ‘Kejadian seperti itu dan dia akan dengan mudah melupakanya? Jahat!’, setelah berpikir Kembang Laras juga berjalan mengikuti di belakang Zen Kagendra.



Setelah beberapa jam berjalan, Zen Kagendra dan Kembang Laras sudah menempuh 8 Kilometer ke arah ujun ruang batu, sampai dengan sekarang dia sama sekali belum merasakan ujung ruangan di depannya.

9 Kilometer, 10 Kilometer, 13 Kilometer, 16 Kilometer, 22 Kilometer

Mereka terus berjalan , sementara berjalan Zen Kagendra terus mengaktifkan sensor jiwanya, hingga beberapa saat dia merasakan sebuah bangunan pada ujung radius sensor jiwanya, merasakan ujung dari jalan setapan, Zen kagendra langsung menarik lengan kembang Laras berlari ke depan.

“Tuan Zen ada ap-“, belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kembang Laras sudah di tarik beberapa ratus meter ke depan.

Dengan cepat mereka tiba di ujung jalan setapak, tiba-tiba mereka lebih terkejut melihat ada sebuah candi besar yang berada di depan mereka, terlihat candi tersebut terbuat dari tumpukan batu dan di bagi menjadi 6 tingkat, jarak antar tingkat sekitar beberapa ratus meter dengan tingkat yang paling lebar berada di bawah.

Secara keseluruhan bentuk konstruksi candi menyerupai limas tingkat paling atas adalah sebuah batu berwarna biru, batu tersebut adalah berlian dan bersinar sangat indah menerangi bagian-bagian dari candi.

Yang lebih penting dari batu tersebut adalah semua energi alam di dalam ruangan batu disini berputar di sekitar berlian biru tersebut, terlihat jelas bahwa batu berlian itu menjadi pusat putaran energi alam di ruangan ini.



Melihat sesuatu yang tidak lazim di depanya jelas Zen Kagendra tidak berani gegabah untuk langsung memasuki daerah candi, tapi setelah memastikan kondisi daerah sekitar candi aman, Zen kagendra dan kembang Laras memberanikan diri untuk melangkah memasuki candi di depannya.

Setelah beberapa puluh meter berjalan, Zen kagendra dan Kembang Laras akhirnya menginjakkan kaki mereka ke dalam bagian candi,

“Tap.. tap.. tap.. tap..” suara kaki mereka memasuki daerah candi.

Tepat setelah bebera detik setelah memasuki daerah candi, tiba-tiba terjadi puting beliung energi besa di depan mereka, puting beliung itu membumbung tinggi hingga ke langit-langit ruang batu.

Tubuh Zen Kagendra dan Kembang Laras goyah karena terkena dampak puting beliung, apalagi Kembang Laras yang langsung berpegangan erat pada tubuh Zen Kagendra, seakan jika dia melepaskan pegangan dari tubuh Zen Kagendra, dia akan terseret angin terbang ke atas.

“ Sial ”, Zen Kagendra bersuara karena terkena dampak puting beliung.

Tapi sebelum Zen Kagendra akan melakukan gerakan menjauh dari puting beliung energi, terdengar suara tawa dari puting beliung, “Ha ha ha ha ha, wahai manusia terpilih, aku sudah lama menunggu kalian”





Share:

0 komentar:

Post a Comment