Sunday, April 23, 2017

Defying World Chapter 22

Chapter 22

9 Sampai 10 Tahun


Setelah memasuki bagian paling dalam gua, Zen Kagendra mulai membongkar isi setiap gelang penyimpanan yang dia dapat dari lima orang yang barusan dia bunuh.

Dia meletakkan semua item di depanya dan mulai perlahan mengitung.

Seteleh beberapa saat, dari ke lima gelang penyimpanan, dia mendapatkan 185.000 Keping emas, 36 inti binatang setan Alam Prajurit, 32 batu jiwa kelas rendah, dan barang pribadi milik mereka.

Zen Kagendra hati – hati mengamati 32 batu jiwa yang dia dapat, batu jiwa adalah batu yang fungsinya hampir sama dengan inti binatang setan, perbedaanya adalah energi pada inti binatang setan lebih tinggi dan sulit dikendalikan, tapi untuk batu jiwa meski energi di dalamnya tidak tinggi tapi itu sangat mudah untuk dikendalikan.

Batu jiwa dibagi tiga kelas, kelas rendah, kelas menengah, kelas tinggi. Umumnya yang di miliki oleh pendekar biasa adalah batu jiwa kelas rendah, karena nilai tukar untuk batu jiwa kelas rendah senilai 1000 keping emas, batu jiwa kelas menengah senilai 10.000 keping wmas, dan batu jiwa kelas tinggi senilai 100.000 emas.

Di dalam cincin penyimpanan ke lima orang yang Zen Kagendra bunuh, ada juga tablet kayu murid dalam perguruan Menggebrak Bumi.

“Mereka cukup kaya, mungkin aku bisa menggunakan semua inti binatang setan ini untuk menerobos Alam Panglima, tapi tidak sekarang ini terlalu dini.”

Zen Kagendra berpikir sejenak untuk menggunakan rampasan sumberdayanya menerobos ke Alam Panglima.

Dia sudah berada pada Alam Prajurit tingkat 10 puncak untuk satu bulan penuh, menerobos ke alam yang lebih tinggi lebih sulit di karenakan harus membutuhkan sumberdaya beberapa kali lipat.

Maka dari itu meski Zen Kagendra mempunyai rampasan sumberdaya 36 inti binatang setan dan tabungan inti binatang setan miliknya sendiri, jumlah totalnya sudah menembus 68 inti binatang setan, tapi jumlah itu masih belum bisa 100% untuk menembus Alam Panglima.

Jika menembus Alam Panglima semudah membalikkan telapak tangan, maka kerajaan Zen seharusnya mempunyai sangat banyak Alam Panglima, contohnya seperti pengawal Zen Kagendra yang dua tahun lalu menemaninya untuk memasuki gunung penanggungan, ada lima pendekar Alam Prajurit tingkat 10 puncak dan tidak memiliki kualifikasi untuk naik ke Alam Panglima meski mereka sudah bekerja keras pada kultivasi mereka.

Zen Kagendra telah selesai menghitung hasil rampasanya, dia segera merapikanya dan menyimpanya ke dalam gelang penyimpananya.

Setelah memasukkan semua barang ke dalam gelang penyimpananya, Zen Kagendra bangun dan berjalan ke area gua tengah.

Setelah berjalan beberapa saat dia melihat dua sosok perempuan dan laki – laki sedang tidur berbaring, sedangkan satu perempuan cantik lainya bermeditasi di samping mereka.

“Bagaimana keadaanmu? Dan bagaimana keadaan mereka?”, Zen Kagendra bertanya ke Kembang Laras dengan suara acuh.

Kembang Laras yang mendengar suara segera membuka matanya, dan menjawab sambil kepalanya menghadap ke tanah.

“Berkat Tuan, Aku tidak apa – apa, teman – temanku terluka tapi aku sudah memberinya obat, mereka akan sembuh lusa”, Kembang Laras menanggapi dengan sopan dan sedikit takut.

Melihat Kembang Laras yang sedikit takut padanya, Zen Kagendra tertawa dalam hatinya ‘ahahahah, kurasa aku benar – benar memainkan peran protagonis kejam’.

“Baiklah, kalian bisa tinggal di sini, aku akan bermeditasi di bawah air terjun”, setelah berbicara Zen Kagendra berjalan ke luar gua.

“Tuan, hari hampir gelap, apa perlu aku buatkan beberapa makanan?”, Kembang Laras berbicara menatap belakang punggung Zen Kagendra.

Dia mencoba memberikan rasa terima kasihnya pada Zen Kagendra lewat hal – hal kecil yang dia bisa, meski dia tidak jado memasak, tapi memanggang daging merupakan hal lumrah untuk semua orang.

Zen Kagendra menghentikan langkahnya lalu menjawab, “Tidak perlu, jika kalian ingin makan, maka carilah daging di luar dan memanggangnya, tidak perlu memanggilku untuk makan malam”

Setelah Zen Kagendra menjawabnya, Kembang Laras tidak lagi mencoba untuk membujukna untuk makan malam bersama, tapi Kembang Laras berbicara lagi dengan penasaran, “Tuan, siapa namamu? Setidaknya aku harus tahun namamu, dan lagi kau terlihat lebih muda dariku”

Zen Kagendra tidak repot – repot untuk berbalik, dan dia menjawabnya dengan ekspresi datar,

“namaku Zen Kagendra”

Setelah menjawab Zen Kagendra meneruskn berjalan keluar dari gua.

“Zen Kagendra, nama yang berwibawa”, Kembang Laras bergumam sambil tersenyum.

Zen Kagendra segera melepas semua pakaianya, dan melompat ke sungai di bawah air terjun, dia mengambang sebentar lalu duduk bermeditasi di atas batu.

Zen Kagendra langsung mengoperasikan metode kultivasi Naga Api Emas, dan langsung menyerap seluruh energi di sekitarnya ke dalam tubuhnya.



Langit pun gelap, dingin tengah malam mulai menyerang kulit, menandakan sudah hampir waktu tengah malam.

Zen Kagendra masih duduk bermeditasi di atas batu sungai, dia tidak sedikit pun bergerak.

Kembang Laras sedang makan beberapa potong daging yang dia panggang, Kembang Asih dan Rahmah Kusdi juga sedang duduk sambil makan daging di tanganya.

“Saudara Kembang Laras, sebelum aku pingsan tadi, aku melihat seorang pemuda membunuh Adi Zamsi, dimana dia?”, Kembang Asih yang memulai pembicaraan.

“Kita di selamatkan seorang pemuda?”, Rahmah Kusdi juga bertanya, dia pingsan paling awal setelah terkena pukulan telak Adi Zaqi, jadi dia tidak melihat aksi pembasmian kelompok Adi Zaqi dan Adi Zamsi.

Mendengar pertanyaan teman dan saudaranya, Kembang Laras mengalihkan pandanganya keluar.

“Dia sedang bermeditasi di atas batu sungai di luar, sebelumnya dia bilang jangan memanggilnya jika kita makan malam”, Kembang Laras menjawabnya dengan nada sedikit khawatir.

Menanggapi jawaban saudaranya, Kembang Asih hampir berteriak, “Apa? Ini hampir tengah malam dia bisa sakit jika masih berdekatan dengan sungai”

Kembang Asih berhenti sebentar lalu melanjutkan, “Saudara, kau perlu membawakanya beberapa potong daging, aku yakin dia mau jika kau membujuknya”

“Tidakkan, pria itu sudah terbiasa dengan hidupnya? Mungkin saja dia sudah melakukan rutinitas ini belasan tahun”, Rahmah Kusdi mencoba untuk menenangkan Kembang Asih

Kembang Laras yang mendengar ini menggeleng, “Ummm tidak mungkin, di lihat dari wajahnya umurnya mungkin sekitar 9 sampai 10tahun, bagaimana bisa dia melakukan rutinitas ini belasan tahun?”

“Apa? 9 sampai 10 tahun?”, Kembang Asih dan Rahmah Kusdi kaget hampir bersamaan. 
 
 
 
Share:

0 komentar:

Post a Comment